------ Punta Dewa atau sebutan lainnya Yudishtira merupakan salah satu tokoh wyang dalam kisah
Mahabaratha, ia adalah kakak dari para Pendawa, Ayahnya bernama Pandu Dewanata sedangkan Ibunya bernama Dewi Kunthi.
Ia sempat di benci oleh para saudaranya yang di pihak para Kurawa, para Kurawa membenci para Pendawa akibat dari maslah tahta Astina. Duryudana yang merupakan putra pertama atau anak paling tertua diantara pasukan Kurawa lainnya ini memiliki sifat jelek di karenakan hasutan dari pamannya yang bernama sangkhuni, Sangkhuni ini merupakan orang yang di benci oleh pihak Pendawa, karena yang membuat Pendawa dan Kurawa selalu ibut ialah Sangkhuni.
Secara resmi memang Puntadewa adalah putra Prabu Pandu dan Dewi Kunti namun
sesungguhnya ia adalah putra Dewi Kunti dan Batara Darma, dewa keadilan. Hal
tersebut diakibatkan oleh kutukan yang diucapkan oleh Resi Kimindama yang
dibunuh Pandu saat bercinta dalam wujud kijang. Tapi akibat dari ajian
Adityaredhaya, Dewi Kunti dan Prabu Pandu masih dapat memiliki keturunan untuk
menghasilkan penerus takhta kerajaan. Puntadewa bersaudarakan empat orang, dua
saudara seibu dan 2 saudara berlainan ibu. Mereka adalah Bima atau Werkudara,
Arjuna atau Janaka, Nakula atau Pinten, dan Sadewa atau Tangsen.
Kelak kebiasaan buruk dari Puntadewa ini menyebabkan para Pandawa berada dalam kesulitan besar. Hal tersebut dikisahkan sebagai berikut: Saat terjadi konflik antara Pandawa dan Kurawa tentang perebutan kekuasaan Kerajaan Astinapura, Kurawa yang didalangi oleh Sengkuni menantang Pandawa untuk main judi dadu. Pada permainan tersebut, para Pandawa mulanya hanya bertaruh uang, namun lama kelamaan, Puntadewa mempertaruhkan kerajaan, istri, dan pada akhirnya pandawa sendiri sudah menjadi hak milik kurawa (Sebelumnya Puntadewa bersama adik-adiknya berhasil mendirikan kerajaan yang berasal dari Hutan Mertani, sebuah hutan angker yang ditempati oleh raja jin yang bernama Prabu Yudistira dan adik-adiknya).
Akibat kalah bermain dadu, Pandawa harus menerima hukuman menjadi buangan selama 13 tahun. Dan sebelumnya Drupadi pun sempat dilecehkan oleh Dursasana yang berusaha menelanjanginya sampai sampai terucaplah sumpah Dewi Drupadi yang tidak akan mengeramas rambutnya sebelum dicuci oleh darah Dursasana, untunglah Batara Darma menolong Drupadi sehingga ia tidak dapat ditelanjangi. Pada tahun terakhir sebagai buangan, Pandawa menyamar sebagai rakyat biasa di suatu kerajaan bernama Wirata. Disana Puntadewa lalu menjadi ahli politik dan bekerja sebagai penasehat tak resmi raja yang bernama Lurah Dwijakangka.
Puntadewa memiliki dasanama (nama-nama lain) yaitu
Raden Dwijakangka sebagai nama samaran saat menjadi buangan selama 13 tahung di
kerajaan Wirata, Raden Darmaputra karena merupakan putra dari Batara Darma,
Darmakusuma, Darmawangsa, Darmaraja, Gunatalikrama, Sang Ajatasatru,
Kantakapura, Yudistira, dan Sami Aji, julukan dari Prabu Kresna.
Raden Puntadewa memiliki watak sadu (suci, ambeg
brahmana), suka mengalah, tenang, sabar, cinta perdamaian, tidak suka marah
meskipun hargadirinya diinjak-injak dan disakiti hatinya. Oleh para dalang ia
digolongkan dalam tokoh berdarah putih dalam pewayangan bersama Begawan Bagaspati,
Antasena dan Resi Subali sebagai perlambang kesucian hati dan dapat membunuh
nafsu-nafsu buruknya.
Konon, Puntadewa dilahirkan melelui ubun-ubun Dewi
Kunti. Sejak kecil para putra putra Pandu selalu ada dalam kesulitan. Mereka
selalu bermusuhan dengan saudara sepupu mereka, Kurawa, yang didalangi oleh
paman dari para Kurawa yang juga merupakan patih dari Kerajaan Astinapura,
Patih Harya Sengkuni. Meskipun Pandawa memiliki hak atas kerajaan Astinapura,
namun karena saat Prabu Pandu meninggal usia pandawa masih sangat muda maka
kerajaan dititipkan pada kakaknya, Adipati Destarastra dengan disaksikan oleh
tetua-tetua kerajaan seperti, Dang Hyang Dorna, Patih Sengkuni, Resi Bisma,
Begawan Abiyasa, dan Yamawidura dengan perjanjian tertulis agar kerajaan Astina
diserahkan kepada Pandawa setelah dewasa, dan Destarastra mendapatkan separuh
dari wilayah Astina. Namun atas hasutan Patih Sengkuni maka kemudian Kurawalah
yang menduduki takhta kerajaan. Segala cara dihalalkan untuk menyingkirkan
pandawa, dimulai dengan Pandawa Timbang (lih. Bima), Bale Sigala-gala, Pandawa
Dadu sampai pada perang besar Baratayuda Jayabinangun. Meskipun Puntadewa
adalah manusia berbudi luhur namun ia memiliki kebiasaan buruk yaitu suka
berjudi.
Kelak kebiasaan buruk dari Puntadewa ini menyebabkan para Pandawa berada dalam kesulitan besar. Hal tersebut dikisahkan sebagai berikut: Saat terjadi konflik antara Pandawa dan Kurawa tentang perebutan kekuasaan Kerajaan Astinapura, Kurawa yang didalangi oleh Sengkuni menantang Pandawa untuk main judi dadu. Pada permainan tersebut, para Pandawa mulanya hanya bertaruh uang, namun lama kelamaan, Puntadewa mempertaruhkan kerajaan, istri, dan pada akhirnya pandawa sendiri sudah menjadi hak milik kurawa (Sebelumnya Puntadewa bersama adik-adiknya berhasil mendirikan kerajaan yang berasal dari Hutan Mertani, sebuah hutan angker yang ditempati oleh raja jin yang bernama Prabu Yudistira dan adik-adiknya).
Saat Pandawa beranjak dewasa, mereka selalu dimusuhi
oleh para Kurawa, akibatnya para tetua Astinapura turun tangan dan memberi
solusi dengan menghadiahi Pandawa sebuah hutan angker bernama Wanamarta untuk
mengindari perang saudara memperebutkan takhta Astinapura. Setelah itu, hutan
yang tadinya terkenal angker, berubah menjadi kerajaan yang megah, dan Prabu
Yudistira serta putrinya, Dewi Ratri atau para dalang juga sering menyebutnya
Dewi Kuntulwilanten menyatu di dalam tubuh Puntadewa yang berdarah putih. Sejak
saat itu pulalah Puntadewa bernama Yudistira.
Sebelumnya, setelah Pandawa berhasil
lolos dari peristiwa Bale Sigala-gala, dimana mereka dijebak disuatu purocana
(semacam istana dari kayu) dengan alasan Kurawa akan menyerahkan setengah dari
Astina, namun ternyata hal tersebut hanyalah tipu muslihat kurawa yang membuat
para Pandawa mabuk dan tertidur, sehingga pada malamnya mereka dapat leluasa
membakar pesanggrahan Pandawa. Bima yang menyadari hal itu dengan cepat membawa
saudara-saudara dan ibunya lari menuju terowngan yang diiringi oleh garangan
putih sampai pada Kayangan Saptapertala, tempat Sang Hyang Antaboga, dari sana
Pandawa lalu melanjutkan perjalanan ke Pancala, dimana sedang diadakan
sayembara adu jago memperebutkan Dewi Drupadi. Barang siapa berhasil
mengalahkan Gandamana, akan berhak atas Dewi Drupadi, dan yang berhasil dalam
sayembara tersebut adalah Bima. Bima lalu menyerahkan Dewi Drupadi untuk
diperisri kakaknya. Sumber yang lain menyebutkan bahwa setelah mengalahkan
Gandamana Pandawa masih harus membunuh naga yang tinggal di bawah pohon
beringin. Kemudian Arjunalah yang dengan panahnya berhasil membunuh naga
tersebut. Dari Dewi Drupadi Puntadewa memilki seorang putra yang diberi nama
Pancawala.
Dalam masa buangan tersebut ada sebuah kisah yang menggambarkan kebijaksanaan dari Raden Puntadewa. Pada suatu hari Puntadewa memerintahkan Sadewa untuk mengambil air di sungai. Setelah menunggu lama, Sadewa tidak kunjung datang, lalu diutuslah Nakula, hal yang sama kembali terjadi, Nakula pun tak kembali. Lalu Arjuna dan akhirnya Bima. Semuanya tak ada yang kembali. Akhirnya menyusulah Puntadewa. Sesampainya di telaga ia melihat ada raksasa besar dan juga adik-adiknya yang mati di tepi telaga. Sang Raksasa kemudian berkata pada Puntadewa bahwa barang siapa mau meminum air dari telaga tersebut harus sanggup menjawab teka-tekinya. Pertanyaannya adalah apakah yang saat kecil berkaki empat dewasa berkaki dua dan setelah tua berkaki tiga? Punta dewa menjawab, itu adalah manusia, saat kecil manusia belum sanggup berjalan, maka merangkaklah manusia (bayi), setelah dewasa manusia sanggup berjalan dengan kedua kakinya dan setelah tua manusia yang mulai bungkuk membutuhkan tongkat untuk penyangga tubuhnya. Sang raksasa lalu menanyakan pada Puntadewa, jika ia dapat menghidupkan satu dari keempat saudaranya yang manakah yang akan di minta untuk dihidupkan? Puntadewa menjawab, Nakula lah yang ia minta untuk dihidupkan karena jika keempatnya meninggal maka yang tersisa adalah seorang putra dari Dewi Kunti, maka sebagai putra sulung dari Dewi Kunti ia meminta Nakula, putra sulung dari Dewi Madrim. Dengan demikian keturuanan Pandu dari Dewi Madrim dan Dewi Kunti tetap ada. Sang Raksasa sangat puas dengan jawaban tersebut lalu menghidupkan keempat pandawa dan lalu berubah menjadi Batara Darma. Puntadewa bisa saja meminta Arjuna atau Bima untuk dihidupkan sebagai saudara kandung namun secara bijaksana ia memilih Nakula. Suatu ajaran yang baik diterapkan dalam kehidupan yaitu keadilan dan tidak pilih kasih.
Dalam masa buangan tersebut ada sebuah kisah yang menggambarkan kebijaksanaan dari Raden Puntadewa. Pada suatu hari Puntadewa memerintahkan Sadewa untuk mengambil air di sungai. Setelah menunggu lama, Sadewa tidak kunjung datang, lalu diutuslah Nakula, hal yang sama kembali terjadi, Nakula pun tak kembali. Lalu Arjuna dan akhirnya Bima. Semuanya tak ada yang kembali. Akhirnya menyusulah Puntadewa. Sesampainya di telaga ia melihat ada raksasa besar dan juga adik-adiknya yang mati di tepi telaga. Sang Raksasa kemudian berkata pada Puntadewa bahwa barang siapa mau meminum air dari telaga tersebut harus sanggup menjawab teka-tekinya. Pertanyaannya adalah apakah yang saat kecil berkaki empat dewasa berkaki dua dan setelah tua berkaki tiga? Punta dewa menjawab, itu adalah manusia, saat kecil manusia belum sanggup berjalan, maka merangkaklah manusia (bayi), setelah dewasa manusia sanggup berjalan dengan kedua kakinya dan setelah tua manusia yang mulai bungkuk membutuhkan tongkat untuk penyangga tubuhnya. Sang raksasa lalu menanyakan pada Puntadewa, jika ia dapat menghidupkan satu dari keempat saudaranya yang manakah yang akan di minta untuk dihidupkan? Puntadewa menjawab, Nakula lah yang ia minta untuk dihidupkan karena jika keempatnya meninggal maka yang tersisa adalah seorang putra dari Dewi Kunti, maka sebagai putra sulung dari Dewi Kunti ia meminta Nakula, putra sulung dari Dewi Madrim. Dengan demikian keturuanan Pandu dari Dewi Madrim dan Dewi Kunti tetap ada. Sang Raksasa sangat puas dengan jawaban tersebut lalu menghidupkan keempat pandawa dan lalu berubah menjadi Batara Darma. Puntadewa bisa saja meminta Arjuna atau Bima untuk dihidupkan sebagai saudara kandung namun secara bijaksana ia memilih Nakula. Suatu ajaran yang baik diterapkan dalam kehidupan yaitu keadilan dan tidak pilih kasih.
Akibat kalah bermain dadu, Pandawa harus menerima hukuman menjadi buangan selama 13 tahun. Dan sebelumnya Drupadi pun sempat dilecehkan oleh Dursasana yang berusaha menelanjanginya sampai sampai terucaplah sumpah Dewi Drupadi yang tidak akan mengeramas rambutnya sebelum dicuci oleh darah Dursasana, untunglah Batara Darma menolong Drupadi sehingga ia tidak dapat ditelanjangi. Pada tahun terakhir sebagai buangan, Pandawa menyamar sebagai rakyat biasa di suatu kerajaan bernama Wirata. Disana Puntadewa lalu menjadi ahli politik dan bekerja sebagai penasehat tak resmi raja yang bernama Lurah Dwijakangka.
Puntadewa memiliki jimat peninggalan dari Prabu Pandu
berupa Payung Kyai Tunggulnaga dan Tombak Kyai Karawelang, Keris Kyai Kopek,
dari Prabu Yudistira berupa Sumping prabangayun, dan Sangsangan robyong yang
berupa kalung. Jika puntadewa marah dan tangannya menyentuh kalung ini makan
seketika itu pulalah, ia dapat berubah menjadi raksasa bernama Brahala atau
Dewa Mambang sebesar gunung anakan dan yang dapat meredakannya hanyalah titisan
Batara Wisnu yang juga dapat merubah diri menjadi Dewa Amral. Selain itu
Puntadewa juga memiliki pusaka bernama Serat Jamus Kalimasada.
Kemudian atas bantuan dari Werkudara,
adiknya, akhirnya Puntadewa menjadi raja besar setelah mengadakan Sesaji Raja
Suya yang dihadiri oleh 100 raja dari mancanegara. Dengan demikian Puntadewa
menjadi seorang raja besar yang akan menjadi anutan bagi raja-raja di dunia.
Pada Perang besar Baratayuda Jayabinangun, Puntadewa menjadi senapati perang pihak pandawa menghadapi raja dari kerajaan Mandraka, Prabu Salya. Puntadewa pun akhirnya behasil membunuh Salya meskipun sebenaranya ia maju kemedan perang dengan berat hati. Saat perang Baratayuda terjadi pun, Puntadewa pernah melakukan tindakan tercela yang mengakibatkan senapati perang Kurawa yang juga gurunya, Dang Hyang Dorna terbunuh. Dikisahkan sebagai berikut, saat para pandawa berhasil membunuh gajah Estitama, seekor gajah milik Astina. Drona yang samar-samar mendengar “….tama mati!” menjadi bigung, mungkin saja Aswatama, putranya telah mati, dan lari menuju pesanggrahan Pandawa, Drona tahu benar siapa yang harus ditanyai, Puntadewa, seorang raja yang selama hidupnya tak pernah berbohong. Saat itu Puntadewa atas anjuran Kresna menyebutkan bahwa Hesti (dengan nada lemah) dan tama (dikeraskan) memang telah mati, Drona yang mendengar hal itu menjadi tambah panik karena menurut pendengarannya yang telah kabur, putra tunggalnya telah tewas. Drona pun kemudian tewas oleh Drestajumena yang mamanggal lehernya saat Drona dalam keaadaan ling-lung. Dalam hal ini dapat di petik sebuah pelajaran bahwa dalam hidup ini sebuah kejujuran pun tidak dapat dilakukan secara setengah-setengah, memang Puntadewa tidak pernah berbohong, namun sikap setengah-setengah tersebut pulalah yang mangakibatkan kematian guru besar Astina tersebut.
Pada Perang besar Baratayuda Jayabinangun, Puntadewa menjadi senapati perang pihak pandawa menghadapi raja dari kerajaan Mandraka, Prabu Salya. Puntadewa pun akhirnya behasil membunuh Salya meskipun sebenaranya ia maju kemedan perang dengan berat hati. Saat perang Baratayuda terjadi pun, Puntadewa pernah melakukan tindakan tercela yang mengakibatkan senapati perang Kurawa yang juga gurunya, Dang Hyang Dorna terbunuh. Dikisahkan sebagai berikut, saat para pandawa berhasil membunuh gajah Estitama, seekor gajah milik Astina. Drona yang samar-samar mendengar “….tama mati!” menjadi bigung, mungkin saja Aswatama, putranya telah mati, dan lari menuju pesanggrahan Pandawa, Drona tahu benar siapa yang harus ditanyai, Puntadewa, seorang raja yang selama hidupnya tak pernah berbohong. Saat itu Puntadewa atas anjuran Kresna menyebutkan bahwa Hesti (dengan nada lemah) dan tama (dikeraskan) memang telah mati, Drona yang mendengar hal itu menjadi tambah panik karena menurut pendengarannya yang telah kabur, putra tunggalnya telah tewas. Drona pun kemudian tewas oleh Drestajumena yang mamanggal lehernya saat Drona dalam keaadaan ling-lung. Dalam hal ini dapat di petik sebuah pelajaran bahwa dalam hidup ini sebuah kejujuran pun tidak dapat dilakukan secara setengah-setengah, memang Puntadewa tidak pernah berbohong, namun sikap setengah-setengah tersebut pulalah yang mangakibatkan kematian guru besar Astina tersebut.
Setelah selesai Baratayuda, Puntadewa menjadi raja di
Astina sebentar dengan gelar Prabu Kalimataya. Lalu di gantikan oleh cucu dari
Arjuna yang bernama Parikesit dengan gelar Prabu Kresnadwipayana. Setelah tua,
Puntadewa lalu memimpin adik-adiknya untuk naik ke Puncak Himalaya untuk
mencapai nirwana. Disana satu persatu istri dan adik-adiknya meninggal, lalu
hanya ia dan anjingnya lah yang sampai di pintu nirwana, di sana Batara Indra
menolak membawa masuk anjing tersebut, namun puntadewa bersikeras membawanya
masuk. Lalu setelah perdebatan panjang anjing tersebut berubah menjadi Batara
Darma dan ikut ke nirwana bersama Puntadewa.
sumber : wayang.wordpress.com
Bagikan
Mengenal Tokoh Wayang yakni Punta Dewa
4/
5
Oleh
Unknown